GOWA, Mediain.id – Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) UIN Alauddin Makassar yang digelar pada Rabu (27/08/2025) di Masjid Agung UIN Alauddin seharusnya menjadi pintu gerbang keterbukaan, partisipasi, dan demokrasi bagi seluruh unsur kampus, khususnya organisasi kemahasiswaan.
Namun, fakta yang terjadi justru sebaliknya: Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Alauddin sebagai representasi resmi mahasiswa sama sekali tidak dilibatkan dalam penyelenggaraan agenda ini.
Kebijakan sepihak yang diambil oleh birokrasi kampus memperlihatkan watak otoritarian yang semakin menguat. Alih-alih menjadikan PBAK sebagai ruang pengenalan nilai akademik, organisasi, dan dinamika kemahasiswaan, acara ini dipangkas menjadi seremoni kaku yang steril dari suara kritis mahasiswa.
Padahal, esensi PBAK bukan sekadar formalitas, melainkan wadah awal bagi mahasiswa baru untuk memahami realitas kehidupan kampus secara utuh—termasuk mengenal organisasi yang akan menjadi ruang pengembangan diri mereka.
Langkah birokrasi yang menyingkirkan DEMA menimbulkan pertanyaan serius: Apa yang sebenarnya ingin disembunyikan? Mengapa mahasiswa baru tidak diberi kesempatan mendengar narasi dari lembaga yang secara konstitusional mewakili mereka? Dengan menutup pintu bagi DEMA, birokrasi kampus hanya menyajikan narasi tunggal sebuah propaganda yang mereduksi keragaman suara di kampus menjadi sekadar doktrin birokrasi.
Lebih jauh, tindakan ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat akademik dan prinsip otonomi mahasiswa. Kampus seharusnya menjadi ruang terbuka bagi kebebasan berpendapat, bukan sebaliknya menjadi arena pembungkaman.
PBAK tanpa DEMA bukan hanya melanggar prinsip partisipasi, tetapi juga mengirimkan pesan berbahaya bahwa kritik dan perbedaan pandangan dianggap ancaman, bukan kekayaan intelektual.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, UIN Alauddin akan kehilangan jati dirinya sebagai ruang lahirnya insan akademik yang kritis dan demokratis.
PBAK yang semestinya menjadi pesta intelektual kini menjelma menjadi panggung birokrasi yang menakutkan: anti-kritik, anti-dialog, dan anti-mahasiswa.
Saatnya birokrasi kampus sadar bahwa membungkam mahasiswa sama saja dengan meruntuhkan marwah akademik. Sebab, kampus tanpa demokrasi bukanlah kawah candradimuka intelektual, melainkan pabrik pencetak lulusan patuh tanpa daya kritis. Dan itu adalah kemunduran yang memalukan bagi institusi pendidikan.
Comment