DPR, Demonstrasi, dan Gelombang Pelanggaran HAM

DPR, Demonstrasi, dan Gelombang Pelanggaran HAM

Muh. Iqlal Saifullah, S.H.,M.H. (Staf Divisi Kampanye dan Kajian Isu Strategis PBHI Wilayah Sulawesi Selatan)

Oleh: Muh. Iqlal Saifullah, S.H.,M.H.
Staf Divisi Kampanye dan Kajian Isu Strategis PBHI Wilayah Sulawesi Selatan

Gelombang demonstrasi yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia dalam beberapa pekan terakhir adalah ekspresi kekecewaan publik yang tak bisa dianggap remeh. Ribuan orang turun ke jalan, dari mahasiswa, buruh, hingga masyarakat sipil, menyuarakan penolakan terhadap berbagai kebijakan DPR yang dinilai jauh dari semangat demokrasi dan kepentingan rakyat.

Namun, alih-alih dijawab dengan dialog, gelombang demonstrasi ini justru dihadapkan pada represi aparat. Bentrokan, gas air mata, pemukulan, hingga penangkapan sewenang-wenang menjadi pemandangan yang berulang. Potret inilah yang menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih begitu massif terjadi di ruang-ruang demokrasi kita.

DPR dan Krisis Representasi

DPR yang seharusnya menjadi representasi rakyat kini kerap dianggap jauh dari aspirasi konstituen. Produk legislasi yang kontroversial, seperti revisi undang-undang, aturan bermuatan kepentingan oligarki, hingga lambannya respons terhadap isu kesejahteraan rakyat, membuat kepercayaan publik merosot tajam.

Di sisi lain, transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi juga sangat minim. Padahal, prinsip meaningful participation merupakan salah satu standar demokrasi yang tidak bisa ditawar. Ketika pintu partisipasi ditutup, wajar jika jalanan kembali menjadi ruang artikulasi politik rakyat.

Demonstrasi dan Represi

Demonstrasi adalah hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945, serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Hak untuk berkumpul dan menyampaikan aspirasi seharusnya dilindungi, bukan dibungkam.

Namun fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Aparat kerap menggunakan kekuatan berlebihan (excessive use of force) dalam menghalau massa aksi. Mulai dari penggunaan peluru karet, gas air mata, hingga pemukulan dan penangkapan yang sewenang-wenang. Tak jarang, jurnalis dan pendamping hukum yang bertugas pun ikut menjadi korban.

Kondisi ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia sejak tahun 2005. Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut, bukan malah melanggarnya.

Jalan Demokrasi yang Terluka

Demonstrasi yang direspons dengan kekerasan hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan penguasa. Demokrasi yang seharusnya dibangun atas dasar partisipasi, dialog, dan penghormatan HAM, kini justru tercoreng oleh praktik represif.

Situasi ini sekaligus menunjukkan lemahnya mekanisme akuntabilitas terhadap aparat keamanan. Impunitas—ketiadaan sanksi terhadap pelaku pelanggaran HAM—menjadi pola yang terus berulang dari masa ke masa.

Saatnya Berbenah

PBHI memandang bahwa momentum ini seharusnya menjadi titik balik bagi negara, khususnya DPR dan aparat penegak hukum, untuk kembali menegakkan prinsip demokrasi dan HAM. Beberapa hal mendesak yang perlu dilakukan antara lain:

  1. Reformasi legislasi agar setiap produk hukum berpihak pada rakyat dan disusun dengan partisipasi publik yang bermakna.
  2. Penghentian segala bentuk kekerasan aparat dalam merespons aksi unjuk rasa. Aparat harus tunduk pada prinsip HAM dan use of force yang proporsional.
  3. Penegakan akuntabilitas dengan mengusut tuntas setiap dugaan pelanggaran HAM dalam demonstrasi, serta memastikan korban mendapatkan pemulihan.
  4. Mendorong ruang dialog antara rakyat, DPR, dan pemerintah sebagai mekanisme demokratis yang sehat.

Penutup

Demokrasi hanya akan tumbuh kuat bila rakyat diberi ruang menyampaikan pendapat tanpa rasa takut. Pelanggaran HAM dalam demonstrasi bukan hanya melukai individu korban, tetapi juga melukai kepercayaan publik terhadap negara.

Kini saatnya kita bersuara lebih keras: DPR harus kembali ke khitahnya sebagai wakil rakyat, dan negara harus memastikan bahwa hak-hak dasar warga dilindungi sepenuhnya. Karena demokrasi sejati tak pernah lahir dari represi, melainkan dari keberanian mendengar suara rakyat.

Comment